HARIANSULTENG.COM – Akademisi Universitas Tadulako (Untad), Harun Nyak Itam Abu menegaskan bahwa Polri tidak boleh menjadi alat kekuasaan.
Hal itu diutarakan Harun menjelang momen Hari Ulang Tahun (HUT) Bhayangkara ke-76 pada 1 Juli 2022 mendatang.
“Hendaknya institusi Polri itu bukan jadi alat kekuasaan, melainkan alat negara yang mengayomi seluruh rakyat Indonesia,” ucap Pakar Hukum Untad tersebut, Minggu (19/6/2022).
Harun berharap penegakan hukum di hari mendatang harus memenuhi rasa keadilan masyarakat.
Sebab beberapa waktu terakhir, ia menilai Polri terkesan tebang pilih dalam menangani laporan terutama kasus dugaan penistaan agama.
Harun mencontohkan seperti yang dilakukan para pegiat media sosial baik Denny Siregar, Abu Janda dan Ade Armando.
Sementara di sisi lain, Polri cenderung cepat merespon laporan terhadap individu yang bersuara dan menyampaikan kritik kepada pemerintah
“Ada pergeseran dan Polri terkesan tebang pilih. Contohnya laporan-laporan terkait penistaan ajaran agama Islam sampai hari ini tidak ada progres yang diharapkan sebagai wujud menegakkan keadilan dan kepastian hukum,” terangnya.
“Dari kasus ini, ada kesan institusi Polri jadi alat penguasa. Padahal kedudukan Polri itu sebagai alat negara. Jadi keduanya harus bisa dibedakan,” sambung Harun.
Sebagai seorang akademisi, Harun menilai dirinya perlu mengemukakan kritik terhadap kinerja kepolisian memasuki usianya ke 76 tahun.
Ia mengatakan, keberadaan Polri sebagai penegak hukum dan pengayom seolah jauh dari hati masyarakat.
Menurutnya, masih terdapat sederet kasus konflik pertambangan dan agraria sebagai akibat relasi hak yang tidak berkeadilan.
Bahkan, eskalasi konflik antara masyarakat dengan perusahaan perkebunan dan pertambangan terus mengalami peningkatan.
“Banyak peristiwa ketika rakyat berhadapan dengan perusahaan besar, mereka juga diperhadapkan dengan aparat kepolisian. Padahal rakyat menuntut haknya tapi mendapat tindakan yang diduga represif. Jadi rasa keadilan itu terusik di tengah-tengah masyarakat,” ucap Harun.
Selain itu, ia juga menyoroti belum tuntasnya penanganan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Papua.
Padahal, kata Harun, pemerintah melalui Menkopolhukam, Mahfud MD telah mengkategorikan KKB Papua sebagai teroris.
Sehingga pelabelan KKB sebagai teroris oleh pemerintah mestinya menjadi dasar Densus 88 Antiteror Polri untuk bertindak.
“Pemerintah sudah mengatakan mereka teroris, mengibarkan bendera bintang kejora, membunuh anggota polisi dan lain-lain. Tapi pemberitaan akhir-akhir ini tak ada lagi yang menyebut OPM itu teroris,” tegas Harun.
“Stigmanisasi teroris ini biasanya standar ganda. Harapannya Polri tidak lagi menerapkan itu seperti dalam penanganan terorisme. OPM harusnya disikat oleh Densus 88, kirim mereka ke Papua. Densus 88 selama ini terbukti berhasil menumpas habis teroris di Indonesia,” ujarnya menambahkan.
Jelang HUT ke-76 Bhayangkara, Harun juga menyayangkan tak ada lagi operasi besar-besaran dalam pencegahan peredaran narkoba.
Meski telah ada Badan Narkotika Nasional (BNN), kepolisian memiliki kewenangan menangani tindak pidana dalam kasus apapun.