HARIANSULTENG.COM, PALU – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Palu mengingatkan agar media atau pers memerhatikan sejumlah hal dalam memberitakan kasus hukum yang melibatkan anak-anak.
Dalam keterangan resminya, AJI Palu menekankan terkait penyembunyian identitas anak yang berhadapan dengan perkara hukum.
Hal itu disampaikan Koordinator Divisi Gender dan Kelompok Marginal AJI Palu, Hamdi Anwar menanggapi kasus pembunuhan murid SD di Kecamatan Palu Barat, Kota Palu.
Diketahui, terduga pelaku merupakan anak di bawah umur berusia 16 tahun. Kasus ini pun viral terutama di jagat media sosial beberapa hari terakhir.
“Ini sebenarnya selalu disampaikan berulang. Tak hanya oleh AJI Palu. Semua organisasi jurnalis, selalu mengingatkan bahkan mendesak anggotanya memerhatikan etika liputan kasus kejahatan yang pelaku dan korbannya melibatkan anak di bawah umur,” ungkap Hamdi, Jumat (3/11/2023).
Dikatakan Hamdi, pihaknya banyak menerima aduan dari masyarakat atas pemberitaan pers yang mengungkap jati diri anak dalam kasus kejahatan tersebut.
Padahal, ujar dia, media atau wartawan harus mengindahkan etika peliputan anak di mana identitas korban dan pelaku harus disamarkan.
Hal tersebut dikarenakan anak-anak masih mempunyai masa depan yang panjang, sehingga mesti dilindungi dari publikasi yang dapat merugikan mereka.
“Kecerobohan jurnalis melakukan liputan anak yang mengabaikan etika masih terus terjadi. Kami mendapatkan kiriman link berita maupun screenshot, gambar wajah pelaku yang tidak disamarkan. Identitas korban dan pelaku harus disamarkan, baik gambar wajah, alamat, nama orangtua dan lain-lain yang merujuk pada identitas inti korban. Mencantumkan identitas secara rinci akan mengakibatkan trauma yang panjang pada masa depan anak,” terangnya.
Hamdi menyebut dalam kode etik secara gamblang menjelaskan bahwa “Jurnalis menjaga kerahasiaan sumber informasi konfidensial, identitas korban kejahatan seksual dan pelaku serta korban tindak pidana di bawah umur”.
“Kami melakukan tracking terhadap media online yang tidak mengindahkan kaidah liputan anak. Sebagian besar media telah menjalankannya dengan baik. Namun masih ada media yang abai. Olehnya tetap harus diingatkan,” kata Hamdi.
Baginya, tidak tepat menampilkan wajah anak pelaku kejahatan hanya karena alasan foto tersebut sudah beredar luas di media sosial.
Kesalahan fatal di media sosial tidak lantas menjadi pembenar bagi jurnalis ikut mengamplikasi maupun mencantumkan wajah pelaku.
“Atas dasar itu, AJI Palu berharap media arus utama menyampaikan karya jurnalistik yang taat asas, menghormati etika dan bertanggung jawab. Tidak semata-mata mengejar keterbacaan atau klik bait. Pembeda media sosial dan media profesional, salah satunya terletak pada sejauh mana penghormatan kita pada etika,” pungkas Hamdi.
Hal senada juga diungkapkan Ritha Safitri, akademisi dan pemerhati anak dari Prodi Sosiologi FISIP Universitas Tadulako (Untad).
Ritha menjelaskan bahwa pemberian hukuman terhadap anak-anak harus dibedakan dengan orang dewasa.